Naka dan Celengan Ayam


        Naka berjalan setengah berlari menuju rumahnya. Ia tampak kegirangan sampai-sampai tidak peduli betapa teriknya sinar matari pada siang hari itu. Rupanya ia membawa sebuah kabar yang ingin segera diberitahukan kepada ibunya.

“Bu… Ibu…”, Naka berteriak memanggil ibunya.

“Ada apa, Naka? Kalau masuk rumah itu ucapkan salam. Tidak baik berteriak seperti itu.”, sahut ibu sambil berjalan keluar dari kamarnya.

“Eh, iya, bu. Assalamu’alaikum.”, jawab Naka sambil mencium tangan ibunya.

“Wa’alaikumussalam. Nah, gitu dong.”, jawab ibu.

“Bu, tahukan toko sepatu yang ada di depan sekolah Naka?”, Naka mulai bercerita.

“Iya, terus kenapa?”, ibu kembali bertanya.

“Tadi aku lihat sepatu model terbaru sudah launcing, bu.”, jawab Naka. “Bolehkan aku beli sepatu itu hari ini?”, Naka melanjutkan.

“Hmmm… Coba lihat dulu celengan kamu. Sudah berapa banyak uang yang berhasil kamu kumpulkan.”, jawab ibu.

Naka pun berjalan menuju kamarnya untuk mengambil celengan miliknya. Ia mengambil celengan berbentuk ayam itu dengan hati-hati. Ketika hendak menyerahkan celengan ayam itu kepada ibunya, raut wajah Naka berubah menunjukkan keraguan.

Ibu segera mengambil celengan ayam tersebut dan menggoyang-goyangkannya seperti orang yang sedang menerawang berapa banyak uang di dalamnya lalu berkata, “Kok celengan ini ringan sekali. Seperti tidak ada isinya?”

Dengan ekspresi takut dimarahi Naka menjawab, “Iya, bu… Selama ini Naka memang sudah jarang menabung.”

“Terus kemana perginya uang lebih yang selama ini ibu berikan supaya kamu bisa belajar menabung?”, tanya ibu dengan sorot mata penasaran.

“Habis, bu. Naka jajanin.”, jawab Naka.

“Naka… Naka… Kalau begitu, terpaksa kamu tidak bisa membeli sepatu itu hari ini.”, ujar ibu.

“Terus kapan, bu?”, tanya Naka.

“Ya… Sampai uangnya terkumpul. Kecuali, kamu bisa membeli sepatu itu pakai daun. Detik ini pun bisa, hahaha…”, ibu menjawab sambil menjahili Naka.

“Yah… Ibu…”, sahut Naka.

Siang itu juga Naka terus merayu ibunya agar bisa membelikannya sepatu. Namun, ibu tetap teguh pada didikannya. Ia mendidik Naka supaya menjadi anak yang bisa mengelola uang dengan baik. Salah satunya dengan belajar menabung.

Melihat ibunya tidak goyah, Naka pun menyerah. Dengan perasaan sedih, Naka membaringkan tubuhnya di atas kasur dan terlelap tidur sambil memeluk celengan ayam miliknya.

“Naka, bangun! Bangun, Naka!”, kata seorang anak laki-laki yang tiba-tiba membangunkannya.

Saat membuka mata, Naka sangat terkejut melihat wajah anak laki-laki itu yang hanya berjarak satu jengkal dari wajahnya. Ia pun mendorong tubuh anak laki-laki tersebut, kemudian mereka saling beradu tatap. Sekilas tidak ada yang aneh dengan anak laki-laki itu. Kecuali satu, rambutnya yang berwarna merah itu mirip seperti jengger ayam.

“Siapa kamu? Kenapa kamu bisa masuk ke kamarku?”, tanya Naka keheranan.

“Nanti juga kamu akan tahu. Sekarang, ayo ikut aku!”, jawab anak laki-laki itu sambil menarik tangan Naka.

Tanpa sempat mencerna keanehan itu, Naka dibawa lari secepat kilat hingga tibalah mereka berdua di pinggir hutan.

“Tunggu!”, ujar Naka dengan nafasnya yang terengah-engah. “Sebenarnya kita mau kemana?”, lanjut Naka.

“Ke sana.”, jawab anak laki-laki itu sambil menunjukan tanggannya ke arah hutan.

“Hutan? Mau apa kita ke sana?”, Naka Kembali bertanya.

“Di dalam hutan itu ada koin emas. Aku harus mengambilnya.”, jawab anak laki-laki itu.

“Ya sudah, kamu bisa mengambilnya sendiri. Aku mau pulang.”, sahut Naka.

“Tunggu! Aku tidak bisa mengambilnya sendiri. Aku butuh bantuanmu.”, ucap anak laki-laki itu. Namun, Naka bersikeras tetap ingin pulang.

“Ayolah, Naka. Setelah mendapatkan koin emas itu, hasilnya akan ku bagi dua denganmu. Aku dengar di dalam hutan sana ada seribu koin emas. Kau tahu? Satu koin emas saja bisa membeli apa pun yang kamu mau. Termasuk sepatu idamanmu itu ”, ucap anak laki-laki itu mencoba meyakinkan Naka.

Mendengar kata sepatu, Naka pun mengurungkan niatnya untuk pulang. Mengingat betapa ia ingin sekali membeli sepatu itu. Naka berkata, “Baiklah, apa yang harus aku lakukan?”.

Dengan penuh semangat anak laki-laki itu mengeluarkan sebuah peta dari saku celananya, serta mejelaskan tugas apa saja yang harus dilakukan oleh Naka. Ternyata, anak laki-laki itu tidak bisa membaca. Alhasil, Naka-lah yang bertugas membaca setiap petunjuk yang tertera pada peta.

“Pertama, kita harus menemukan air terjun. Di sana kita akan mendapatkan petunjuk berikutnya.”, ucap Naka menerangkan petunjuk dari peta.

“Oke, ayo kita pergi.”, jawab anak laki-laki itu. Ia kembali menarik tangan Naka lalu berlari melesat menuju air terjun.

Tanpa butuh waktu yang lama mereka sampai di air terjun yang dimaksud. Kemudian, mereka berdua mengamati sekitar air terjun itu untuk menemukan petunjuk berikutnya. Beberapa saat kemudian, mereka pun menemukan sebuah botol kaca berisi selembar kertas yang diyakini sebagai petunjuk.

“Apakah itu petunjuknya”, anak laki-laki itu bertanya. Naka menjawab dengan menganggukkan kepalanya.

“Petunjuk kedua, kita harus mengikuti aliran sungai ini sampai bertemu sebuah gua. Tapi, masalahnya saat ini air sungai sedang pasang, alirannya deras, bahaya kalau kita berenang. Terus, bagaimana cara kita bisa pergi ke sana?”, ujar Naka kebingungan.

“Tenang Naka, kita bisa membuat rakit. Ayo, bantu aku  mengumpulkan bambu”, jawab anak laki-laki itu.

Rakit pun jadi dan mereka bisa menyusuri sungai tanpa khawatir lagi. Meskipun perjalanan itu sangat memacu adrenalin, tapi mereka sangat menikmatinya. Naka pun diam-diam memperhatikan anak laki-laki itu. Rambut jengger ayamnya meliuk-liuk diterpa angin, sedangkan wajahnya sangat serius memastikan rakit buatannya tetap berada di jalur yang benar.

     “Stop!”, ucap Naka tiba-tiba.

    “Ada apa?”, sahut anak laki-laki itu.

    “Itu…”, Naka menunjuk sebuah gua.

   “Waaah… Mulut gua itu sangat besar sekali.”, ujar anak laki-laki itu sambal memarkirkan rakitnya di tepi sungai.

    Ketika mereka mulai memasuki gua, tercium bau kotoran kelelawar, ditambah suara tetesan air yang menggema membuat suasana di dalam gua itu menjadi mencekam. Dengan mengandalkan penerangan seadanya, secara perlahan-lahan mereka semakin masuk ke dalam gua sampai langkah mereka terhenti karena melihat sebuah peti kayu.

    Benar saja di dalam peti kayu itu terdapat banyak sekali koin emas. Mereka pun kegirangan seperti mendapat harta karun. Dengan susah payah mereka menggotong peti kayu berisi koin emas itu ke luar gua. Setibanya di luar gua, peti kayu itu langsung diletakkan di atas rakit. Keduanya kembali menyusuri sungai dengan wajah sumringah.

    “Apa benar koin emas itu berjumlah seribu?”, tanya Naka.

    “Sepertinya lebih.”, jawab anak laki-laki itu.

    “Ngomong-ngomong, nama kamu siapa?”, tanya Naka penasaran.

    “Namaku Satria.”, ucap anak laki-laki itu sambil tersenyum.

    “Oh… Satria.”, sahut Naka sambil menganggukkan kepalanya.

    “Lalu… untuk apa koin emas itu?”, Naka kembali bertanya.

   “Hmmm… aku juga perlu membeli sepatu dan tas baru. Lihat!”, jawab Satria sambil menunjukkan sepatu dan tasnya yang tampak lusuh dengan beberapa bagian ada yang berlubang. “Aku juga ingin membelikan hadiah untuk ibuku. Beberapa koin emas akan aku simpan sebagai tabungan, dan selebihnya akan aku bagikan kepada orang-orang yang membutuhkan.”, ucap Satria dengan mantap.

    Jawaban Satri mebuat Naka kagum sekaligus malu. Satria sungguh anak yang baik hati. Ia sangat menyayangi ibunya dan senang berbagi kepada orang-orang yang membutuhkan. Satria juga gemar menabung. Berbeda dengan Naka, selama ini ia hanya memikirkan dirinya sendiri.

    Di tengah perjalanan pulang itu, tiba-tiba muncul pusaran air yang siap menyedot rakit mereka. Arus air semakin deras, angin bergemuruh kencang, langit berubah mendung dan petir mulai menyambar. Naka dan Satria pun berusaha mempertahankan keseimbangan rakit yang mereka tumpangi. Namun, usaha mereka gagal. Mereka pun terseret arus dan masuk ke dalam puasaran air itu. Di dalam pusaran air itu mereka terpisah. Namun anehnya, Naka merasa tubuhnya mengambang. Lalu ia melihat Satria sedang melambaikan tangan ke arahnya.

    “Sampai jumpa, Naka! Terima kasih sudah menemani aku berpetualang mencari koin emas. Ini untukmu.”, ucap Satria sambil melemparkan sebungkus koin emas.

    Koin emas itu pun kini berada di tangan Naka. Kemudian, Naka kembali dikejutkan oleh suara yang khas memanggil namanya.

    “Naka… Naka… Bangun, Naka!”, ucap Ibu dengan lembut.

    Naka pun membuka matanya. Ia masih merasa kebingungan dengan apa yang sudah terjadi. Ia melihat sekeliling kamarnya untuk memastikan keberadaan Satria. Tetapi, Satria tidak ada di sana.

    “Bangun, Naka! Ini sudah sore. Ayo mandi dan sholat asar sebelum waktunya habis.”, ucap ibu sambil mengusap kepala Naka.

    Naka pun akhirnya sadar bahwa petualangannya bersama Satria itu hanyalah mimpi. Namun, Ia merasa bersyukur. Karena mimpinya tersebut, Naka kembali bersemangat untuk menabung. Tak lupa, ia juga ingin memberikan hadiah untuk ibunya dan berbagi kepada sesama.

___

Penulis : Ainun Umami

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mencapai Titik Usaha

Janji Temu